TEORI SASTRA STRUKTURALIS
Pada abad 20 di Barat terjadi
perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastra. Pergeseran yang umum
dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan
historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik –bersangkutan dengan peristiwa
yang terjadi di suatu masa yang terbatas dengan mengabaikan perkembangannya (Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi II : 946)- dan sekaligus dapat disaksikan secara
khas pergeseran dari pendekatan sastra sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke
arah sastra sebagai bidang kebudayaan yang otonom.
Dibidang ilmu bahasa, telah disebut
nama Ferdinand de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup
radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa
menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik,
makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan
unsur-unsur lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat
relasionalnya yang berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur
dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian
secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang
demikianlah merupakan awal mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis
yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa,
baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.
Telaah sastra merupakan tahap awal
dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui karya satra
itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut tidak bisa
hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara
keseluruhan. Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui
kualitas sastra, dan merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang
terkandung dalam karya sastra. Oleh karena itu, peneliti hendaknya tidak terjebak
dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam penelitian adalah mengkaji
makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Fananie (2000: 76) penilaian
karya sastra yang baik tidak hanya dinilai berdasarkan pada salah satu
elemennya melainkan harus dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu, karya
sastra yang hanya bagus dalam salah satu aspeknya, belum dapat dikatakan
sebagai sastra yang berkualitas atau sastra yang baik, begitu juga sebaliknya.
Analisis struktural sastra disebut
juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000:
112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan
pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari
eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku.
Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi
kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter.
Yang jelas, penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau
nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur pembentuknya.
Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila tiap-tiap
unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti
tema, karakter, plot (setting).
Bahasa merupakan satu kesatuan yang
utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut
dalam kriteria estetik. Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas,
trasformasi, dan pengaturan diri. Transformasi yang dimaksud bahwa struktur
terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada
kaidah-kaidah yang mencirikan sistem itu sebagai sistem. Dengan kata lain,
susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya.
Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah
unsur struktur dan mengakibatkan hubungan antarstruktur menjadi berubah pula.
Pengaturan diri dimaksudkan bahwa sruktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah
instrinsik dari hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri bila ada unsur
yang berubah atau hilang (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Transformasi yang
terjadi pada sebuah struktur karya sastra bergerak dan melayang-layang dalam
teksnya serta tidak menjalar keluar teksnya. Karya sastra sebagai sebuah
struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur, yang satu
dengan yang lainnya saling berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi
pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi
berubah. Perubahan hubungan antarunsur pada posisinya itu secara otomatis akan
mengatur diri (otoregulasi) pada posisinya semula (Peaget dalam Sangidu, 2004:
16).
Struktur bukanlah suatu yang statis,
tetapi merupakan suatu yang dinamis karena didalamnya memiliki sifat transformasi.
Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure),
tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget
dalam Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu
disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas
beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Stanton (2007:20) membagi unsur-unsur instrinsik
yang dipakai dalam menganalisis struktural karya sastra diantaranya, alur,
karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan
tone, simbolisme dan ironi.
Alur
: Stanton, (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian-rangkaian dalam
sebuah cerita.
Karakter (penokohan) : Stanton (2007: 33) mengemukakan
bahwa karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter
merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada
orang yang bertanya; "Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?".
Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan,
keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Latar : Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar
(setting) adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Tema : Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema
merupakan aspek cerita yang sejajar dengan "makna" dalam pengalaman
manusia; suatu yang menjadikan suatu pengalaman yang iangkat.
Sarana-Sarana Sastra : Stanton (2007: 46) mengemukakan
bahwa sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan
menyusun detail cerita agar tercapai polapola yang bermakna. Metode ini perlu
karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata
pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun
dapat dibagi.
Judul : Stanton (2007: 51) mengemukakan bahwa judul
selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu
kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul menuju pada sang karakter
utama atau satu latar.
Sudut pandang : Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa
sudut pandang adalah posisi tokoh dalam cerita.
Gaya dan Tone : Stanton (2007: 61) mengemukakan bahwa
gaya atau tone dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
Simbolisme : Stanton (2007: 64) mengemukakan bahwa simbol
adalah tanda-tanda yang digunakan untuk melukiskan atau mengungkapkan sesuatu
dalam cerita.
Ironi : Stanton (2007: 71) mengemukakan bahwa secara umum
ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan
dengan apa yang telah diduga sebelumnya.
Pada prinsipnya, analisis struktural
bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan karya menyeluruh. Analisis structural bukanlah
penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus
aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inverse sintaksis, metaphor dan
metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk, dengan apa saja
yang secara formaldapat diperhatikan pada sebuah sajak, atau dalam hal roman
pun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu,
ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. Yang penting justru
sumbangan yang diberikan oleh semua gejala semacam ini pada keseluruhan makna
dalam keterkaitan dan keterjalinannya, juga dan justru antara berbagai tataran
(fonik, morfologis, sintaksis, semantic).
ANALISIS STRUKTURAL UNTUK KARYA SASTRA DI INDONESIA
Di Indonesia juga sudah banyak
analisis struktur yang dihasilkan baik sebagai sebuah skripsi sarjana, atau
dalam proyek (Pusat Bahasa, Fakultas Sastra dll), ataupun dalam ruangan Sorotan
yang dimulai oleh Jassin, kemudian terdapat dalam banyak suratkabar dan majalah
lain. Tetapi sering analisis semacam itu kurang mendalam dan terpadu. Yang
baik, misalnya, beberapa tulisan Umar Junus sejak tahun 1970, dan sejumlah
studi Subagio Sastrowardoyo. Di bidang sastra Melayu klasik dapat disebut
desertasi Achadiati Ikram mengenai Hikayat Sri Rama (1980) dan desertasi
Sulastin Sutrisno mengenai Hikayat Hang Tuah (1978).
Berbagai contoh analisis struktural
terhadap karya sastra Indonesia, dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya karya Prof. Dr. Rachmat Djoko
Pradopo.
KELEMAHAN ANALISIS STRUKTURAL
Kelemahan terbesar dari strukturalisme
adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah
dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra
adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang
pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang
terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang
situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman)
tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya
"bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra
semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan
untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori
strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang
pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah
ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan.
Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika
membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme
Sumber :
http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/teori-sastra-strukturalis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar